Rabu, 19 Desember 2012

Universitas Esa Unggul menjadi Pemenang Perguruan Tinggi Swasta Unggulan 2012 – Kopertis Wilayah III Jakarta bidang Akselerasi Program Peningkatan Mutu



Selamat kepada Universitas Esa Unggul sebagai Pemenang Perguruan Tinggi Swasta Unggulan 2012 di Bidang Akselerasi Program Peningkatan Mutu – Kopertis Wilayah III Jakarta
piala PTS unggulan 2012
Download Pemilihan PTS Unggulan 2012.ppt

Keunggulan generik universitas terpilih
  • Kejelasan arah pengembangan dan tahapannya
  • Menerapkan harmonisasi sistem sentralisasi administrasi/operasional dan desentralisasi akademik
  • Didukung sepenuhnya dengan pemanfaatan sistem informasi dan teknologi untuk kecepatan layanan dan efisisen
  • Paper-less services

4 Perguruan Tinggi Swasta
Akselerasi Program Peningkatan Mutu
  • Agresif dalam memfokus kepada program-program studi keahlian spesifik (profesional) yang langka, untuk percepatan daya serap lulusan di pasar kerja
  • Didukung tim pengajar perpaduan yang kuat antara akademisi, praktisi (profesional), dan birokrat
  • Menerapkan sistem pengajaran  berbasis IT dari awal sampai akhir proses pembelajaran secara on-line
  • Memperkaya dengan sekitar 20 jenis soft-skills yang relevan dengan kebutuhan pasar
  • Diterapkannya sistem insentive dan disinsentive berbasis capaian kinerja dosen dalam struktur remunerasi
  • Luasnya kerjasama dengan dunia industri dan dunia kerja
  • Mempunyai potensi berkembang cepat

More News 

Senin, 17 Desember 2012

Penandatanganan Nota Kesepahaman Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika,Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus antara Universitas Esa Unggul dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat

Pada Hari Kamis 06 Desember 2012 Bertempat di Ruang 207-208 Universitas Esa Unggul (UEU), telah dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara UEU dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat tentang Kerjasama di Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika, Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus.
Penandatanganan dilakukan langsung oleh Rektor Universitas Esa Unggul, Bapak Dr. Ir. Arief Kusuma AP., MBA dihadiri oleh Civitas Akademika UEU, Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, Badan Narkotika Nasional (BNN) serta para orang tua mahasiswa dan undangan. Dalam sambutannya Bapak Dr. Arief Kusuma menyampaikan bahwa UEU terus berupaya dan berbenah diri dalam menciptakan suasana kehidupan yang harmonis dan kondusif dilingkungan UEU dan tak akan pernah mentolerir bagi berkembang dan masuknya narkoba, minuman keras dan judi di lingkungan kampus.
Penandatangan tersebut sekaligus mempertegas sikap dan komitmen UEU bahwa narkotika adalah barang haram dan mematikan yang perlu dicegah sedini mungkin, upaya ini tentu perlu didukung oleh semua pihak dengan melibatkan berbagai unsur terkait dengan bekerjasama secara aktif guna menangkal masuk dan berkembangnya narkoba, minuman keras dan judi di kampus. Dalam sambutannya Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, yang diwakili Ajun Komisaris Besar Polisi Gembong Yudha SP, SH selaku Kasat Resnarkoba Polres Jakarta Barat menyambut baik kerjasama ini dan siap secara bersama-sama menciptakan UEU sebagai kampus yang bersih, sehat dan kondusif bagi terselenggaranya proses belajar mengajar dan terhindar dari segala bentuk perbuatan yang dapat mengarah pada rusaknya sendi-sendi moral maupun tata kelola kehidupan masyarakat kampus yang harmonis.
Penandatanganan ini juga seolah menjadi sebuah angin segar bari para Civitas Akademika UEU, para orang tua dan masyarakat ditengah semakin tingginya kekhawatiran public dengan merebaknya pemakaian dan peredaran gelap narkoba, judi dan minuman keras di kampus. Demi keselamatan kita bersama, katakan tidak pada Narkoba, demikian yang disampaikan oleh Bapak David Hutapea dari BNN yang berkesempatan hadir pada acara ini dan siap mendukung UEU mencegah masuknya narkotika di kampus.


More News

Sabtu, 15 Desember 2012

Workshop & Seminar dan Contest Blog – HIMMA Fasilkom Eksekutif Universitas Esa Unggul


Dalam rangka memperingati Human Rights Day 2012, HIMMA Fasilkom eksekutif Universitas Esa Unggul menyelenggarakan Workshop & Seminar dan Contest Blog dengan tema Kau Sahabat dan Saudaraku”

Workshop & Seminar
Jumat, 21 Desember 2012, Jam 14.00 WIB – Selesai
Ruang 811, Lantai 8 Universitas Esa Unggul
Pembicara  : Enda Nasution ( Bapak Blogger Indonesia)

Contest Blog
Sabtu, 26 Januari 2013, Jam 09.00 WIB – 14.00 WIB
Ruang 811, Lantai 8 Universitas Esa Unggul

HADIAH :
  • Juara 1   :  Laptop
  • Juara 2   :  Netbook
  • Juara 3   :  Tablet PC
Pendaftaran :
Mahasiswa Esa Unggul  Rp. 50.000,-
Umum  Rp. 75.000,-
Salman – 089601457222
Lidya – 085715566479
Fardian – 089635920035

Note :
Untuk mengikuti Workshop ini tidak wajib mengikuti lomba, tetapi yang mengikuti lomba wajib untuk mengikuti workshop

Kata Kunci : universitas , contest , blog 

More News 

Kamis, 13 Desember 2012

Jurnalisme Berperspektif Gender

 
Dra. Sarah Santi
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Esa Unggul, Jakarta

Persoalan perempuan di media massa menyangkut tiga hal, yaitu gambaran atau representasi wajah perempuan yang tidak menyenangkan, keterlibatan perempuan dalam sturktur organisasi media yang belum berimbang dibandingkan dengan laki-laki, dan isi pemberitaan yang tidak sensitif dengan persoalan-persoalan perempuan. Untuk itu, diperlukan jurnalisme yang berpihak pada perempuan, yang dikenal dengan jurnalisme berperspektif gender.
Berbicara soal perempuan dan media massa, pada dasarnya kita berbicara tentang tiga hal. Pertama adalah representasi perempuan dalam media massa, baik media cetak, media elektronik, maupun berbagai bentuk multi media. Sejauh ini media massa masih menjadikan perempuan sebagai obyek, baik di dalam pemberitaan, iklan komersial  maupun program acara hiburannya seperti sinetron. Wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung meng-gambarkan perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban kriminalitas karena sikapnya yang “mengundang” atau memancing terjadinya kriminalitas, atau sebagai obyek seksual. Sementara perempuan dalam iklan tampil lebih sering sebagai potongan-potongan tubuh yang dikomersialisasi karena keindahan tubuhnya atau kecantikan wajahnya. Wajah perempuan dalam program acara hiburan seperti sinetron juga menyudutkan perempuan. Penggambaran dalam cerita-ceritanya seringkali sangat stereotipe. Perempuan digambarkan tak berdaya, lemah, membutuhkan perlindungan, korban kekerasan dalam rumah tangga, kompe-tensinya pada wilayah domestik saja. Atau, justru perempuan yang galak, tidak masuk akal, “murahan” dan bahkan pelacur, bukan perem-puan baik-baik, pemboros, dan sebagainya.
Kedua, persoalan perempuan justru ter-letak pada masih sedikitnya perempuan yang terlibat dalam kerja jurnalistik karena memang selama ini kerja jurnalistik dianggap sebagai wilayah kaum pria. Meski demikian, dari tahun ke tahun jumlah perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis meningkat. Di negara-negara maju, komposisi jurnalis perempuan mencapai 30% – 40% (Jurnal Perempuan, 2003). Sementara, dalam tulisan Bettina Peters yang dikutip oleh Jurnal Perempuan (2003) menguraikan bahwa Interna-tional Federation for Journalist (IFJ) pernah melaku-kan penelitian di 39 negara dan mendapatkan data bahwa prosentase rata-rata dari jurnalis perempuan adalah 38%.  Di Indonesia, berdasar-kan data Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, diperkirakan dari 100.00 jurnalis yang ada, 17% nya dalam perempuan (Venny, 2005).
Meski demikian peningkatan ini perlu dicermati karena keterlibatan para perempuan dalam dunia jurnalistik dan media tidak berarti mereka juga punya kontribusi besar dalam menentukan isu-isu yang harus diangkat dengan sudut pandang para perempuan. Ternyata, jumlah perempuan yang duduk dalam struktur media di tingkat pengambil keputusan tetap masih terbatas. Prosentase perempuan sebagai editor, kepala bidang atau departemen, dan pemilik media hanya berkisar 0,6% saja (Venny, 2005). Keterbatasan ini membawa kita pada persoalan ketiga ketika bicara tentang perempuan dan media massa.
Hal ketiga itu adalah persoalan sejauh mana para pengambil keputusan dalam media massa memiliki sensitivitas gender dalam menen-tukan isu pemberitaan. Hal ini terkait dengan kepentingan kekuasaan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Sayangnya, karena tidak memiliki perspektif gender, media massa sering-kali abai pada isu-isu perempuan dan persoalan gender. Pada akhirnya, representasi perempuan yang ditampilkan dalam media massa semakin memarjinalkan dan mensubordinasi para perem-puan.
Ketiga permasalahan di atas membawa kita lebih jauh pada satu pertanyaan: apakah kerja dan hasil kerja jurnalisme harus bebas nilai? Atau justru harus berpihak pada perempuan?
Jurnalisme dan Perspektif Gender
Para feminis meyakini bahwa media harus berperan dalam menciptakan kesetaraan dan keadilan gender. Karenanya, sebenarnya diper-lukan jurnalisme yang memiliki sudut pandang perempuan, yang dikenal dengan istilah jurna-lisme berperspektif gender. Nur Iman Subono mencoba mendefinisikan jurnalisme berpers-pektif gender dengan mengatakan bahwa itu merupakan: “…kegiatan atau praktek jurnalistik yang selalu menginformasikan atau bahkan mem-permasalahkan dan menggugat terus menerus, baik dalam media cetak (seperti dalam majalah, surat kabar, dan tabloid) maupun media elek-tronik (seperti dalam televisi dan radio) adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, keyakinan jender yang menyudutkan perempuan atau representasi perempuan yang sangat bias jender” (Subono, 2003).
Dengan mengutip May Lan, Subono pun masih mencoba menambahkan pemahaman tentang jurnalisme berperspektif gender. Yaitu praktik jurnalisme yang berupaya untuk  menye-barkan ide-ide mengenai kesetaraan dan keadilan  gender antara laki-laki dan perempuan melalui media.
Dalam tulisannya, Subono berusaha lebih jauh mencoba menunjukkan dua pendekatan kerja jurnalisme, yaitu jurnalisme yang memiliki sensitivitas gender dan jurnalisme yang tidak memiliki sensitivitas gender atau yang disebut sebagai jurnalisme netral gender. Ia memodifikasi sebuah model dari bukunya Eriyanto dimana model tersebut menyebutkan 4 tolok ukur untuk melihat apakah sebuah media melakukan kerja jurnalistik yang netral gender atau berperspektif gender, yang dapat dilihat dalam Tabel 1.  Keempat hal yang dapat dijadikan acuan itu adalah bagaimana media melihat fakta, bagaimana media itu sendiri berusaha memosisikan dirinya diantara berbagai kelompok kepentingan dan akses atas media, bagaimana jurnalis media itu sendiri mengambil posisi dan perannya dalam kerja di media, dan terakhir adalah bagaimana ketiga acuan pertama di atas menjadi dasar meng-olah hasil peliputan dan tampil dalam pem-beritaan. Jika media massa itu memiliki keber-pihakan, maka tampilan hasil peliputan atau pemberitaan memang secara tegas memiliki pers-pektif tersendiri, sementara jika netral gender, maka isi pemberitaan tidak memiliki sudut pan-dang atau perspektif tertentu atas sebuah per-soalan yang memihak kepada perempuan.

Representasi, Partisipasi, dan Akses Perempuan dalam Media
Persoalan representasi perempuan di me-dia, pemberitaan yang memiliki sensitivitas gender, dan jurnalisme yang memiliki keber-pihakan seperti yang terurai di atas pada dasarnya bermuara pada sejauh mana akses perempuan pada media massa. Hal itu masih menjadi per-soalan tersendiri.
Konferensi Tingkat Dunia tentang Pe-rempuan IV di Beijing, China pada tahun 1995 berhasil merumuskan rekomendasi 12 bidang kritis sebagai sasaran-sasaran strategis yang harus dipenuhi Negara. Isi dari rekomendasi yang disebut dengan Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (Beijing Platform for Action) itu antara lain adalah mencapai sasaran strategis bagi perempuan di media massa.  Ada dua sasaran strategis me-nyangkut perempuan dan media massa, yaitu :
  • meningkatkan partisipasi dan kesempatan perempuan untuk berekspresi dan mengambil keputusan di dalam dan melalui media massa serta teknologi-teknologi komunikasi yang baru
  • memajukan gambaran-gambaran yang seim-bang dan tidak klise tentang perempuan dalam media. (Lembar Info Edisi 25, http://www/lbh-apik.or.id/fac-25.tm, diakses 31 Oktober 2006)
Perempuan dan media massa menjadi salah satu dari 12 bidang sasaran strategis BPFA+10 itu dikarenakan pada kenyataannya  identitas dan representasi perempuan di media massa masih menunjukkan kuatnya stereotipe terhadap perem-puan akibat budaya partriakhal selain juga perem-puan sebagai obyek di media massa. Di sisi lain, media massa memang memiliki peranan yang besar dalam mengkonstruksi masyarakat sehingga gambaran tentang perempuan yang muncul di media jika tidak dikritisi akan dianggap natural, wajar, dan bahkan begitulah adanya.

Padahal, jika saja akses perempuan terhadap media tidak terbatas, banyak yang bisa dilakukan oleh mereka yang kritis terhadap identitas dan representasi perempuan dalam media. Keter-batasan akses itu  membuat perempuan menjadi terpinggirkan. Wajah perempuan yang sesung-guhnya tidak tampak dan suara perempuan tidak terdengar karena  terhegemoni oleh kekuasaan dan kepentingan ekonomi yang berbalut nilai-nilai patriarkhal.
Sebuah organisasi non-pemerintah yaitu Indo-nesian NGO Forum on BPFA+10 mengidenti-fikasi hambatan-hambatan perempuan dalam media massa didalam laporan mereka tentang pelaksanaan BPFA+10 itu. Hambatan-hambatan itu adalah sebagai berikut (Achmad, 2005). Pertama, citra perempuan yang tampil dalam iklan-iklan masih seputar kegiatan domestik dan kecantikan. Kedua, program acara televisi juga memberi kontribusi negatif terhadap citra perempuan. Perempuan jarang digambarkan sebagai sosok yang independen, berani dan ter-pelajar dalam sinetron-sinetron televisi. Ketiga, hanya sedikit program acara TV dan radio yang memberdayakan perempuan. Kalaupun perem-puan tampil dalam program acara TV dan radio, lebih mengarah pada kegiatan masak-memasak atau personal grooming. Keempat, media memperlakukan perempuan lebih sebagai obyek yang dieksploitasi, sehingga tubuh perempuan tampil dalam iklan-iklan yang tidak ada hubu-ngannya dengan produk yang diiklankan. Begitu juga pemberitaan-pemberitaan yang tidak sensitif terhadap gender. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan yang besar dalam hal pemahaman dan kesadaran gender. Kelima, bahasa pun kemudian mengkonstruksi stereotipe citra perem-puan di media. Yang terjadi kemudian adalah kerja jurnalistik, melalui bahasa dan pilihan katanya, menampilkan berita-berita kriminalitas yang membuat perempuan menjadi korban berkali-kali dan bukannya memberitakan adanya pelanggaran hak terhadap perempuan. Keenam, tidak adanya program khusus dari pemerintah untuk memperkenalkan dan mempromosikan konsep-konsep kesetaraan dan keadilan gender di media massa. Ketujuh, pemerintah masih belum bisa merevisi sumber hukum yang sangat bias gender yaitu UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Isi undang-undang itu sangat bertentangan dengan CEDAW yang merupakan sebuah konvensi internasional untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kedelapan, perempuan tidak bisa menggunakan pengaruhnya dalam menentukan isi media dan kebijakan-kebijakannya dikarenakan hanya sedikit perempuan yang berada dalam posisi pengambil keputusan di media.
Berangkat dari argumentasi-argumentasi di ataslah kemudian menjadi sangat bisa diterima jika perempuan perlu memanfaatkan media massa untuk memperdengarkan suara dan pengala-mannya dan sekaligus menampilkan wajah perem-puan yang lebih representatif.
Mengapa media massa menjadi sebuah sasaran strategis bagi alat untuk menyuarakan identitas, keterwakilan dan kepentingan perem-puan? Hal ini dikarenakan karakter dan peran media  massa yang khas. Dalam tulisannya, Adriana Venny mengatakan bahwa sejalan dengan perannya sebagai media sumber informasi, pen-didikan, dan hiburan, media massa juga memain-kan peranan penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi (2005). Ia mencontohkan keberhasilan program pemerintah masa Orde Baru yang membentuk “Kelom-pencapir” (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) ketika mensosialisasikan program-pro-gram pertaniannya.
Organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop-ornop) yang memperjuangkan hak perem-puan menyadari bahwa mereka harus memiliki media sendiri untuk menyebarluaskan gagasan tentang kesetaraan dan keadilan gender. Media juga mereka perlukan untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan dan menggalang kesatuan untuk melakukan perubahan. Venny (2005) mencatatkan beberapa ornop perempuan yang memiliki media sendiri untuk tujuan-tujuan meningkatkan partisipasi dan akses perempuan melalui media dan teknologi komunikasi. Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menggunakan media cetak berupa jurnal, website, dan radio dengan memproduksi program acara radio yang memuat isu-isu perempuan dan disiarkan oleh 167 stasiun radio. Selain itu YJP juga membuat film dokumenter tentang perempuan di wilayah konflik dan perdagangan perempuan. Selain itu, banyak ornop-ornop perempuan yang memiliki dan menggunakan media newsletter sendiri untuk menyebarluaskan kesadaran dan isu-isu gender.
Meski ornop-ornop perempuan itu telah begitu baik memanfaatkan industri media untuk menjalankan peran mereka, Venny memberikan catatan pula bahwa nyaris tidak ada dukungan dari pemerintah, industri iklan dan para pembuat kebijakan dalam industri media atas apa yang mereka lakukan. Tidak heran jika upaya gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender masih memiliki kendala hingga kini. Karenanya, diper-lukan sebuah media alternatif yang luas jang-kauannya dan mampu membawa pada peru-bahan.
Referensi:
Amiruddin, Mariana,  (Ed), ”Mendengarkan perempuan”, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2004.
Andy, Yetriani, dan Lisa Bona (Ed.),  ”Diskusi radio jurnal perempuan: suara demokrasi, budaya, dan hak-hak perempuan”, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 1999.
Eriyanto, ”Analisis framing: konstruksi, ideologi, dan politik media”, LkiS, Yogyakarta, 2002.
http://www.lbh-apik.or.id/fac-25.htm, diakses pada tanggal 31 Oktober 2006.
Irigaray, Luce, ”Aku, kamu, kita: belajar berbeda”, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2005.
Jurnal Perempuan, ”Perempuan dan media”, No. 28, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003.
Kusumaningrum, Ade, ”Radio, media alternatif suara perempuan?”, Dalam Jurnal perempuan. No. 28, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003.
Leclerc, Annie, ”Kalau perempuan angkat bicara”, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Santi, Budie, (Ed), ”Perempuan bertutur: Sebuah Wacana Keadilan Gender dalam Radio Jurnal Perempuan”, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003.
Venny, Adriana, Dalam Titi Sumbung (Ed.), ”NGO report on the implementation of beijing platform for action 1995 – 2005: Country Indonesia”, Indonesian NGO Forum on BPFA + 10, Jakarta, 2005.

kata kunci : universitasjurnalistik

More Article Di Sini 

Rabu, 12 Desember 2012

Penandatanganan Nota Kesepahaman Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika,Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus antara Universitas Esa Unggul dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat


Pada Hari Kamis 06 Desember 2012 Bertempat di Ruang 207-208 Universitas Esa Unggul (UEU), telah dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara UEU dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat tentang Kerjasama di Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika, Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus.
Penandatanganan dilakukan langsung oleh Rektor Universitas Esa Unggul, Bapak Dr. Ir. Arief Kusuma AP., MBA dihadiri oleh Civitas Akademika UEU, Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, Badan Narkotika Nasional (BNN) serta para orang tua mahasiswa dan undangan. Dalam sambutannya Bapak Dr. Arief Kusuma menyampaikan bahwa UEU terus berupaya dan berbenah diri dalam menciptakan suasana kehidupan yang harmonis dan kondusif dilingkungan UEU dan tak akan pernah mentolerir bagi berkembang dan masuknya narkoba, minuman keras dan judi di lingkungan kampus.
Penandatangan tersebut sekaligus mempertegas sikap dan komitmen UEU bahwa narkotika adalah barang haram dan mematikan yang perlu dicegah sedini mungkin, upaya ini tentu perlu didukung oleh semua pihak dengan melibatkan berbagai unsur terkait dengan bekerjasama secara aktif guna menangkal masuk dan berkembangnya narkoba, minuman keras dan judi di kampus. Dalam sambutannya Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, yang diwakili Ajun Komisaris Besar Polisi Gembong Yudha SP, SH selaku Kasat Resnarkoba Polres Jakarta Barat menyambut baik kerjasama ini dan siap secara bersama-sama menciptakan UEU sebagai kampus yang bersih, sehat dan kondusif bagi terselenggaranya proses belajar mengajar dan terhindar dari segala bentuk perbuatan yang dapat mengarah pada rusaknya sendi-sendi moral maupun tata kelola kehidupan masyarakat kampus yang harmonis.
Penandatanganan ini juga seolah menjadi sebuah angin segar bari para Civitas Akademika UEU, para orang tua dan masyarakat ditengah semakin tingginya kekhawatiran public dengan merebaknya pemakaian dan peredaran gelap narkoba, judi dan minuman keras di kampus. Demi keselamatan kita bersama, katakan tidak pada Narkoba, demikian yang disampaikan oleh Bapak David Hutapea dari BNN yang berkesempatan hadir pada acara ini dan siap mendukung UEU mencegah masuknya narkotika di kampus.

Kata Kunci : Universitas , Jakarta Barat

More News 


Pengumuman Beasiswa Universitas Esa Unggul Desember 2012

Daftar Peserta Beasiswa 100% Penuh , Tahap I Desember 2012

No NAMA Asal Sekolah Kota/Propinsi
1 Shinta Eris Virnita SMA Plus PGRI Cibinong, Bogor Bogor, Jawa Barat
2 Vivi Septia Audia SMA Negeri 23 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
3 Witry Sahira SMK Al Chasanah Jakarta barat, DKI Jakarta
4 Rizky Oktamara SMK Al Chasanah Jakarta barat, DKI Jakarta
5 Maria Setya Wardani SMAN 6 Jakarta Jakarta Selatan, DKI Jakarta
6 Siti Sukaesih SMA Mandiri Balaraja Tangerang, Banten
7 Agnes Firdiana Anggraini SMAN 1 Bululawang Malang, Jawa Timur
8 Selvia Monalisa SMAN 5 Tangerang Tangerang, Banten
9 Retno Yuliana SMAN 5 Kota Tangerang Tangerang, Banten
10 Dyah Eras Mita SMK Negeri 1 Pogalan Trenggalek, Jawa Timur
11 Satya Muslimah SMAN 19 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
12 Prahesti Ayu Wulandari SMAN 5 Tangerang Tangerang, Banten
13 Wihda Firdayanti SMAN 3 Cilegon Cilegon, Banten
14 Yuke Rianita SMAN 3 Cilegon Cilegon, Banten
15 Gultom Aussienadia SMA Negeri 10 Melati Samarinda, Kalimantan Timur
16 Natalia Sri Rejeki SMA Negeri 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
17 Putri Utami SMA Citra Islami Village Tangerang, Banten
18 Janice SMK Yadika 4 Tangerang, Banten
19 Noto Suoneto Candra Naya Jakarta barat, DKI Jakarta
20 Esti Prihastuti SMK Kesehatan Riksa Tangerang, Banten
21 Anggita Pradhepti SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
22 Jessica SMAN 57 Jakarta Barat Jakarta barat, DKI Jakarta
23 Fajar Jati Wicaksono SMA Telkom SandhyPutra Kota Malang, Jawa Timur
24 Henny Yunita SMA Plus PGRI Cibinong, Bogor Bogor, Jawa Barat
25 Lusi Sya’bi SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
26 Dita Octavia Kusdianti SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
27 Wanda Amelia Rahma SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
28 Ayu Wulandari SMA Yadika 1 Jakarta barat, DKI Jakarta
29 Ayu Rina Hastuti SMA Yadika 1 Jakarta barat, DKI Jakarta
30 Mutmainnah SMAN 1 Mataram Mataram
31 Kaula Kalyana Mitta SMA Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta barat, DKI Jakarta
32 Raja Luth Hasan SMA N 3 Jambi Jambi
33 Arma Vica Wulandari SMK Kesehatan Riksa Tangsel
34 Nutria Sabbriella SMK N 1 Pangkalpinang Pangkalpinang, Bangka
35 Alex Gufron Mtss Ummul Quro Al-Islami Bogor, Jawa Barat
36 Kasipah SMK Tunas Harapan Jakarta Barat Jakarta barat, DKI Jakarta
37 Ide Primayu Rilmida SMA Mandiri Balaraja Tangerang, Banten
38 Maysita Utami Chaya SMAN 3 Kota Jambi Jambi

Selamat dan Sukses Kepada penerima Beasiswa penuh 100% 2013 tahap I per Desember 2012
Mengingat terbatasnya kesempatan ini, maka  kami mengundang dalam rangka acara Penandatanganan Surat Pernyataan Beasiswa 100% TA 2013 pada:

Tempat       :  Universitas Esa Unggul, Jl. Arjuna Utara 9 , Tol Tomang Kebon Jeruk  Jakarta 11510
Hari             :   Rabu, 19 Desember 2012
Jam             :  14.00- 15.00 WIB
Rang           :  207/208, Lantai II
Acara          :   Penandatanganan Pernyataan Beasiswa Penuh 100%.

Penerima Beasiswa diharapkan didampingi orang tua(Bapak atau Ibu), serta Kepala Sekolah atau Wakil, untuk turut serta  Menandatangani Surat Pernyataan Penerima Beasiswa 100 % Tahun 2013 sebagai saksi.
Mengingat pentingnya acara tersebut dimohon untuk hadir tepat waktu,
Demikian kami sampaikan, selamat atas keberhasilannya dan diucapkan terimakasih
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Sdr. Rendy (Telp.021 567 4223 (hunting) ext. 279 atau 021 704 111 59).

More News 

GO GREEN MORE THAN A PLAN – Himpunan Mahasiswa Perencanaan Wilayah (UPSA-EU) dan Kota Fakultas Teknik Universitas Esa Unggul


Himpunan Mahasiswa Perencanaan Wilayah (UPSA-EU)  dan Kota Fakultas Teknik Universitas Esa Unggul menyelenggarakan kegiatan gerakan penanaman pohon dengan tema ” GO GREEN MORE THAN A PLAN “  pada tanggal 13,14,15 Desember 2012.
Jenis Kegiatan :
13 Desember 2012
Diskusi Panel :  Pentingnya RTH Perkotaan
Pembicara :
  • Kepala Badan Informasi Geospasial
  • Kasudin Pertamanan Jakarta Barat
  • Kasudin Tata Kota Jakarta Barat

Fasilitas Peserta :
  • Sertifikat
  • Goodie bag
  • T-Shirt
  • Pin
  • Makan Siang

BAZZAR   13-14 Desember 2012
15 Desember 2012 – Penanaman Pohon di Jl. Joglo Raya
Kegiatan ini diselenggarakan sebagai peran serta dalam mengurangi dampak pemanasan global dengan menjaga Ruang Terbuka Hijau yang ada di Jakarta ini serta memanfaatkan lahan kosong yang ada. Selain itu, diadakan juga kegiatan penyuluhan kepada masyarakat dan pelajar khususnya agar dapat pemahaman akan pentingnya RTH diperkotaan dan tindakan-tindakan apa saja yang harus dilakukan untuk menjaga Ruang Terbuka Hijau kita yang semakin langka keberadaannya karena peruntukan lahan yang di mayoritaskan sebagai daerah pergedungan.
Konfirmasi Pendaftaran Peserta
  • Iwan – 08979263768
  • Fitria – 08561525236
More News 

Univ. Esa Unggul Masuk 50 Besar 4ICU ( Rangking ke - 33)


4ICU merupakan mesin pencari pendidikan tinggi internasional yang mengulas akreditasi perguruan tinggi di dunia. Tercatat sedikitnya 12 ribu perguruan tinggi dari 200 negara telah direview oleh organisasi ini.


Perangkingan dilakukan dengan menggunakan metode algoritma dan didasarkan pada tiga mesin pencari independen seperti google page rank, yahoo inbound links dan alexa traffic rank. Berbeda dengan dengan penilaian webometrics yang dilakukan terhadap empat parameter utama, yakni size, visibility, rich files, dan scholar.

Organisasi 4ICU dibangun dengan tujuan membantu dosen dan mahasiswa internasional mencari secara spesifik informasi tentang popularitas sebuah universitas di sebuah negara.
Berikut peringkat 50 besar se-Indonesia terkait website perguruan tinggi versi 4ICU.

                  Universitas Lokasi

1  Institut Teknologi Bandung

Bandung
2  Universitas Indonesia Depok 
3  Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
4  Universitas Gunadarma Depok
5  Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
6  Universitas Diponegoro Semarang 
7  Universitas Sebelas Maret Surakarta
8  Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
9  Universitas Airlangga Surabaya
10  Institut Pertanian Bogor Bogor
11  Universitas Sumatera Utara Medan
12  Universitas Padjadjaran Bandung 
13  Universitas Islam Indonesia  Yogyakarta
14  Universitas Brawijaya Malang
15  Universitas Mercu Buana Jakarta
16  Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta
17  Universitas Kristen Petra Surabaya
18  Universitas Sriwijaya Palembang 
19  Universitas Surabaya Surabaya 
20  Universitas Muhammadiyah Malang Malang 
21  Universitas Negeri Yogyakarta Yogyakarta
22  Universitas Bina Nusantara Jakarta 
23  Universitas Muhammadiyah Surakarta Surakarta
24  Universitas Negeri Malang Malang
25  Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
26  Universitas Negeri Semarang Semarang 
27  Universitas Andalas Padang
28  Universitas Hasanuddin Makassar
29  Universitas Komputer Indonesia Bandung
30  Universitas Lampung Bandar Lampung
31  Universitas Udayana Badung 
32  Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta 
33  Universitas Esa Unggul Jakarta 
34  Universitas Bengkulu Bengkulu
35  Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Yogyakarta
36  Universitas Jember Jember
37  Universitas Tarumanagara Jakarta
38  Universitas Trisakti Jakarta
39  Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
40  Universitas Negeri Surabaya Surabaya
41  Universitas Sam Ratulangi Manado
42  Universitas Negeri Padang Padang 
43  Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tangerang
44  Universitas Riau Pekanbaru
45  Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
46  Universitas Negeri Medan Medan
47  Universitas Paramadina Jakarta
48  Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
49  Universitas Trunojoyo Bangkalan
50  Universitas Mulawarman Samarinda


Secara lengkap, pemeringkatan seluruh perguruan tinggi di Indonesia periode 2012 dapat diakses melalui laman http://www.4icu.org/id/.

More News

Selasa, 11 Desember 2012

Konflik Dalam Pemberitaan Media Massa

 
Sumartono, S.Sos, M.Si.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Esa Unggul, Jakarta

Disaat krisis, pers seharusnya memberikan informasi yang seimbang, sehat, dan menenangkan suasana, dan bukannya malah memanas-manasi atau memprovokasi  publik untuk ikut mengamuk. Secara ideal pers atau media seharusnya menyediakan informasi yang jujur, jernih dan seluas mungkin mengenai apa yang layak dan perlu diketahui oleh masyarakat sehingga dapat membantu meredakan dan menyelesaikan krisis.

Pemberitaan media yang berisi konflik dapat membawa pengaruh pada dua hal. Pertama pemberitaan media justru memperluas eskalasi konflik dan kedua, dapat membantu meredakan dan menyelesaikan konflik (Sieber, et al., 1986). Pendapat yang saling bertentangan diharapkan akan bermuara pada satu kesepakatan penyelesaian. Pendapat seperti ini walaupun masuk akal namun belum terbukti secara empiris yang dapat dijadikan pegangan untuk membe-narkan asumsi tersebut.

Mencermati dua kemungkinan tersebut, tampaknya kemungkinan pertama lebih terbuka terjadi melalui pemberitaan suatu konflik oleh media massa. Hal ini tanpak dan dapat dicermati, misalnya pada konflik Ambon. Konflik yang semula adalah perkelahian antara pemuda Mardika (kampung Kristen) dengan pemuda Batumerah (kampung Muslim) dalam memperebutkan sumber daya ekonomi akhirnya berkembang men-jadi sentimen anatar kelompok agama. Perkembangan selanjutnya konflik meluas hingga ke kepulauan Maluku. Perluasan eskalasi konflik ini kemudian meluas lagi menjadi isu nasional dan internasional.
Informasi tentang krisis, konflik banyak kita temukan di media massa. Tetapi dari segi kualitas hal itu belum menjamin perbaikan situasi konflik dan krisis yang berlangsung. Kebanyakan informasi tentang konflik yang tersaji di media massa hanya bersifat permukaan, parsial, sepotong-potong, tidak proporsional, sebagian besar hanya menekankan aspek kekerasan dan konflik terbuka saja, bukan pada aspek situasi, akar masalah yang bisa mendukung perbaikan situasi dan perdamaian

Untuk mengatasi masalah ini terdapat beberapa alternatif solusi yang dikemukakan oleh Chang yang dikutip oleh Trijono L (2002) sebagai berikut:
•    Dengan menambah dan terus menerus membuka saluran (channel) komunikasi sehingga arus informasi terus mengalir dan ketersediaan informasi bisa diperoleh secara memadai
•    Meningkatkan kualitas informasi tentang konflik yang ada sehingga bisa diperoleh informasi yang bermakna dan berguna secara memadai bagi kepentingan publik secara luas
•    Momfokuskan pada penyajian informasi dan proses komunikasi yang mengarah pada isu-isu spesifik dari situasi konflik dan setiap dimensi krisis secara mendalam sehingga tidak memper-luas dan semakin membuat ruwet interpretasi dan pemaknaan publik yang bisa semakin mengacaukan situasi krisis.

Perbaikan kualitas komunikasi dan informasi yang diliput media massa melalui berbagai upaya kampanye dan perluasan aktivitas komunikasi perdamaian atau jurna-lisme damai dapat membantu perbai-kan situasi konflik dan krisis di dunia saat ini.

Indonesia merupakan negara multi etnis yang memiliki aneka ragam suku, budaya, bahasa, dan agama bersatu di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika, namun tidak demikian halnya pada kenyataan. Keaneka-ragaman dan perbedaan itu merupakan potensi terpendam pemicu konflik. Pakar studi konflik dari Universitas Oxford, France, Steward (Kompas 16/12/03) menyebutkan empat kategori negara yang berpotensi konflik. Keempat kategori adalah negara dengan tingkat pendapatan dan pembangunan manusianya rendah, negara yang pernah terlibat konflik serius dalam 30 tahun sebelumnya, negara dengan tingkat horizontal yang tinggi, dan negara yang rezim politiknya berada dalam transisi rezim represif menuju rezim demokratis. Indonesia bisa masuk dalam keempat kategori tersebut sekaligus.

Dalam kungkungan rezim Orde Baru, media massa kita dipaksa untuk berhati-hati dalam pemberitaan mereka atas kasus-kasus yang ber-nuansa Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). Wacana tentang etnis, ras dan agama selama ini menjadi hal yang selalu ditutup-tutupi dan tabu di kalangan masyarakat. Namun seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru, berubah pula tatanan institusi media. Di era Refor-masi, kebebasan pers telah mengha-dirkan dengan telanjang segala keru-wetan, kekacauan yang selama era Orde Baru selalu ditutup-tutupi. Pemberitaan media atas sejumlah isu memperlihatkan munculnya kebera-nian dan kejujuran dalam menentukan sikap. Pada era Orde Baru, tuntutan itu coba dipenuhi dengan meman-faatkan media massa. Dalam konteks ini media massa sebagai salah satu pilar terbentuknya negara demokratis dan masyarakat madani. Media massa menjadi wadah perbedaan pendapat yang sehat; tidak bertendensi memojokan kelompok yang bersebe-rangan dengan dirinya. (Sudibyo, et al. 2001).

Pada Era Reformasi krisis, dan konflik menjadi lebih tajam dan tampak semakin dramatis diberitakan melalui liputan pers. Konflik Ambon dan Maluku Utara yang bernuansa agama memperlihatkan dengan jelas sikap dan posisi yang diambil oleh media massa tertentu dalam pemberi-taannya. Dibandingkan dengan topik-topik lain para wartawan menganggap krisis, konflik, dan perang sebagai hal yang memenuhi banyak kriteria jurna-listik untuk membuat peristiwa menjadi berita. Karena menarik perha-tian tentu saja peristiwa konflik tidak akan luput dari perhatian dan pem-beritaan media massa.

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok), yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher, et al. 2001).

Menurut Soerjono Soekanto (1989) pertentangan atau konflik merupakan proses disosiasi yang agak tajam dalam membawa akibat positif maupun negatif. Dalam kondisi ini terdapat kecenderungan untuk menye-suaikan kembali pada norma-norma hubungan sosial dalam kelompok etnis kultur. Terutama apabila individu-individu berada pada kualitas interaksi frekuensi tinggi, maka kemungkinan konflik sangat terbuka yaitu karena sikap toleran yang tidak mengem-bangkan “emotional intelegence” atau kepekaan cita rasa.

Tiga faktor dasar penyebab konflik menurut LR Pondy (Sumarno, et al. 2000) yaitu: 1. berlomba dalam memanfaatkan sumber langka (compe-tition for scare resources) 2. Dorongan di dalam memperoleh otonomi (drives for outonomy) 3. Perbedaan di dalam mencapai tujuan tertentu (disvergence of sub unit goals) Leopold Van Wiese dan Howard Backer (dalam Sumarno, et al., 2000) mencatat beberapa sebab akar-akar konflik, antara lain; 1. Perbedaan orang perorang yang terkait dengan pendidikan dan perasaan 2. Perbedaan kebudayaan yang berkait dengan; pola-pola kebudayaan, pembentukan dan perkembangan kepribadian, pola-pola pendirian, perbedaan kepentingan 3. Perubahan sosial. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Tahap tahap konflik terdiri dari (Fisher, et al., 2001, 19). Pertama, prakonflik; merupakan periode dimana terdapat ketidak-sesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih sehingga timbul konflik. Dua, konfrontasi; pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Hubungan di antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara para pendukung di masing-masing pihak. Tiga, krisis; ini merupakan puncak krisis, ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus. Peryataan-peryataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya. Empat, akibat; pada tahap ini, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemung-kinan adanya penyelesaian. Lima, pascakonflik; situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai kon-frontasi kekerasan, ketegangan berku-rang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah penyebab pertentangan antara dua pihak tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

Pakar studi konflik dari Universitas Oxford, France Steward (Kompas,  16/12/03) menyebutkan empat kategori negara yang berpotensi konflik. Keempat kategori adalah negara dengan tingkat pendapatan dan pembangunan manusianya rendah, negara yang pernah terlibat konflik serius dalam 30 tahun sebelumnya, negara dengan tingkat horizontal yang tinggi, dan negara yang rezim politiknya berada dalam transisi rezim represif menuju rezim demokratis. Indonesia serta merta bisa masuk dalam keempat kategori tersebut sekaligus.

Konflik di Indonesia
Pada permukaan orang-orang Indonesia tampak bersatu karena bangsa Indonesia memiliki budaya Indonesia, namun tidak demikian dalam kenyataan. fakta menunjukkan bahwa selama ini telah terjadi begitu banyak krisis dan konflik di Indonesia.

Keharmonisan dan toleransi yang tampak selama ini menurut Mulyana (2002) karena rakyat Indonesia memiliki orientasi tradi-sional-kolektivistik mereka seperti yang tersirat dalam konsep populer gotong royong dan musyawarah untuk mufakat, sebagai kontras dari individualistik masyarakat barat. Hal ini membuat masyarakat Indonesia terbiasa mempertahankan keharmo-nisan sosial, tutup mulut, atau diam saja di hadapan orang namun menggerutu di belakang, membuat konflik sedemikian berkepanjangan atau bahkan tak terselesaikan. Kecenderungan kultural ini juga telah diperparah oleh perspektif monolitik yang selalu dipertahankan oleh pemerintah yang menekankan mono-loyalitas kelompok-kelompok masya-rakat kepada pemerintah. Friksi-friksi interkultural ini telah terjadi puluhan tahun di Indonesia. Beberapa konflik antar golongan yang telah terjadi dalam di dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pada bulan mei 1998, toko-toko warga keturunan cina di Jakarta diporakporandakan (barang-barangnya dijarah) oleh mereka yang disebut pribumi. Tidak lama sesudahnya, terdapat kerusuhan antar suku antara orang-orang Dayak dan Madura di Sambas, Kalimantan Barat, yang menyebabkan ratusan orang Madura terbunuh dan ratusan rumah dibakar. Tak lama kemudian terjadi konflik-konflik antar kelompok agama yang lebih serius (kerusuhan dan pemban-taian) antara orang orang muslim dan kristen di Maluku. Sejumlah friksi di antara kelompok-kelompok etnis masih bersifat laten. Friksi-friksi yang laten ini mungkin muncul kepermu-kaan bila tidak dikelola sedini mung-kin.

Liputan Media Tentang Krisis
Putra GN, (2002) menjabarkan hasil-hasil penelitian mengenai bagai-mana media meliput krisis sebagai berikut; liputan media tentang krisis digambarkan oleh Scanlon, Luuko & Morten (1978) sebagai cenderung tidak akurat dan mengandung rumour atau desas-desus. Wilbur Schramm dalam artikelnya “Communication in Crisis” (1971) telah menyatakan bahwa laporan media tentang sebuah krisis cenderung kurang akurat dan lebih mengutamakan kecepatan. Dalam sebuah  krisis, media cenderung lebih mengutamakan penyajian berita secara cepat dari pada berita yang akurat, demikian pendapat Dynes (seperti yang dikutip Scanlon, Luuko & Morten, 1978). Dynes menambahkan bahwa laporan media tentang sebuah krisis akan cenderung membesar-besarkan kejadian. Barton setuju dengan pendapat Dynes, menyatakan bahwa media akan menyebarkan berita yang terfragmentasi tanpa penge-cekkan yang memadai untuk menja-min keakuratan isi.
Fritz dan Mathewson juga berpendapat bahwa laporan media tentang suatu tragedi akan mem-bingungkan, tidak terorganisir, menya-jikan informasi yang saling berten-tangan dan mengandung ketidak jelasan dan ketidak akuratan. Waxman, Kueneman dan Wright juga mene-mukan bahwa liputan media terhadap suatu krisis kurang akurat dan berisi informasi saling bertentangan.

Berita Konflik di Media Massa
Idealnya suatu berita yang baik adalah berita yang ditulis berdasarkan fakta sesungguhnya. Tidak dikotori oleh kepentingan segelintir orang sehingga mendistorsi  fakta tersebut. Namun dalam realita media sebagai ruang publik kerap tidak bisa memerankan diri sebagai pihak yang netral. Media senantiasa terlibat dengan upaya merekonstruksi realitas sosial. Dengan berbagai alasan teknis, ekonomis, maupun ideologis, media massa selalu terlibat dalam penyajian realitas yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak mencerminkan realita sesungguhnya. Keterbatasan ruang dan waktu juga turut men-dukung kebiasaan media untuk meringkaskan realitas berdasarkan “nilai berita”. Prinsip berita yang berorientasi pada hal-hal yang menyimpang menyebabkan liputan peristiwa jarang bersifat utuh, melainkan hanya mencakup hal-hal yang menarik perhatian saja yang ditonjolkan. Berita juga sering dibuat berdasarkan semangat “laku-tidaknya berita itu dijual” Trijono L. (2002), mengatakan sejauh ini bisa dikatakan media massa boleh dikatakan cende-rung meliput berita konflik hanya pada aspek perilaku konfliknya saja atau aspek-aspek konflik yang kelihatan kasat mata. Misalnya perilaku mem-bunuh, membantai kelompok tertentu, menembak, membakar, dll. Berita-berita sensasional dan dramatis demikian sering menjadi liputan utama. Mereka seringkali juga menyajikan secara berlebihan aspek kekerasan dan konflik, misalnya sekian banyak tempat yang strategis rusak dibakar, jumlah korban yang terluka atau terbunuh, dsb. Laporan mereka bukan pada keseluruhan fakta tentang dimensi-dimensi konflik yang ada, mencakup situasi konflik dan persepsi atau pandangan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Sehingga infor-masi tentang konflik yang tersedia dalam dunia kita sekarang menjadi bersifat sangat permukaan (superficial) dan tidak proporsional  (out of proportion). Sejauh ini telah umum diakui bahwa media massa seringkali menyajikan informasi tentang konflik secara permukaan dan sepotong-potong. Hanya aspek konflik yang paling mudah dilihat dan peristiwa konflik yang paling dramatis, yang mendapat perhatian terbesar untuk diliput. Aspek lain dari kekerasan, seperti situasi yang menjadi akar konflik dan persepsi berbagai pihak tentang konflik tidak mendapat perhatian berarti, meski hal itu sangat penting untuk diketahui publik. Sebagai contoh, pemerintah yang berkuasa dan media massa di Indonesia banyak membuat berita sensasi dan begitu ramai membe-ritakan tindakan pengeboman di Bali, pengeboman di Hotel JW Marriot, konflik antara suku Dayak dan Madura, atau konflik Ambon. Tetapi, situasi yang bisa menyebabkan konflik kekerasan muncul di masyarakat seperti represi politik, ekploitasi dan perampasan hak ekonomi rakyat, kemiskinan, kelaparan, atau korban banjir besar sebagai akibat pemba-batan hutan, dan kerusakan lingku-ngan tidak mendapat perhatian yang proporsional di media massa.
Selain bersifat permukaan, liputan media massa dan laporan resmi pemerintah tentang konflik di Indonesia seringkali bias dan tidak proporsional. Bentuk bias dan ketidak proporsionalan liputan itu dapat  berupa peliputan yang berlebihan tentang cakupan dan intensitas konflik yang tidak sesuai dengan tingkatan koflik yang nyata, atau sebaliknya, pengurangan aspek konflik yang penting yang mestinya dikemukakan dengan alasan menghindarkan dampak buruk yang diakibatkan oleh berita atau laporan yang dibuat. Sebagai contoh, penculikan dan pelepasan korban penculikan pegawai TVRI oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka) mendapat liputan yang luas dan sangat komprehensif dari media massa di Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan liputan media tentang penculikan, penghilangan dan pem-bunuhan massal oleh rezim berkuasa, misalnya saat Orde Baru berkuasa atau menjelang masa transisi politik, karena dituduh makar, subversif separatis, atau membangun gerakan terorisme. Media massa umumnya tidak akan menjadikan peristiwa penculikan, atau pembunuhan oleh rezim yang berkuasa sebagai liputan penting yang perlu disebarluaskan.

Liputan media massa dan laporan resmi pemerintah tentang konflik umumnya juga sangat bias, tidak seimbang, dan tidak propor-sional. Mereka cenderung hanya meliput fakta dan gejala konflik hanya sebagai peristiwa penyimpangan atau kecelakaan biasa. Selain hanya menon-jolkan yang sensasional dan dramatis kebanyakan konflik kekerasan hanya diliput sekali sebagai sebagai peristiwa sepotong-potong terlepas dari peristiwa konflik secara lengkap. Konflik seolah-olah hanya dilihat sebagai perititwa kecelakaan yang tragis, kesalahan prosedur atau efek samping dari suatu kebijakan, bukannya sebagai peristiwa sengaja yang secara sistematis melekat dalam bekerjanya suatu sistem politik, sebagai suatu gejala yang memiliki banyak aspek dan dimensi, dan punya akar penyebab dan pola tertentu yang bisa dicegah dan diatasi

Referensi:
Fisher S., et al, “Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi Bertindak”, The British Council Indonesia, Jakarta, 2000.
Mulyana D, “Intergroup Labelling di Indonesia, Kontribusi Media Massa Terhadap Crisis  ommunication”, dalam Ispandriarno, 2002.
L, Hanitzsch T, &  Loeffelholz M, (ed), “Media-Militer-Konflik, Crisis Communication: Perspekti  Indonesia dan Internasional”, Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Pers, Jakarta.
Putra, GN, “Liputan Media Terhadap Tragedi WTC”, Kasus Liputan Kompas dan The Jakarta Post, dalam Ispandriarno L, Hanitzsch T, &  Loeffelholz M, (ed): Media-Militer-Konflik, Crisis Communication: Perspekti Indonesia dan Internasional, Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Pers, Jakarta, 2002.
Scanlon, T. Joseph, Rudy Lukko & Gerarld Morten, “Media Coverage of Crises. Better Than Reported, Worse Then Necessary”, dalam Journalism Quarterly. Vol 55, 1978.
Siebert, Peterson & Schramm, “Empat Teori Pers“, Intermasa, Jakarta, 1986.
Soekanto, S, “Sosiologi suatu Pengantar”, Rajawali, Jakarta, 1989.
Sudibyo, Hamad, Qodari, “Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama di Media Massa”,:  Institut Studi Arus Informasi, Jakarta, 2001.
Sumarno, Karimah K dan Damayanti NA, “Filsafat dan Etika Komunkasi”, Univeristas Terbuka Press, Jakarta, 2000.
Trijono, L, “Peran Komunikasi dalam Konflik dan Untuk Perdamaian”, dalam Ispandriarno L, Hanitzsch T, &  Loeffelholz M, (ed): Media-Militer-Konflik, Crisis Communication: Perspekti Indonesia dan Internasional. Friedrich Ebert Stiftung dan Galang Pers, Jakarta, 2002.
Kompas, 16 Desember 2003.

More Article  Di Sini

Jurnalisme Bebas Dan Bertanggung Jawab

 
Dr. Erman Anom, MM.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Esa Unggul, Jakarta

Fungsi media massa adalah pengamatan sosial, korelasi sosial, sosialisasi dan hiburan. Praktek-praktek jurnalisme harus selalu berlandaskan kepada fungsi media massa itu sendiri. Untuk Indonesia dewasa ini ada pendapat yang dipraktekkan ada yang menyebut jurnalisme bermakna, ada yang berpendapat jurnalime patriotisme. Sedangkan pada Orde Baru dikenal dengan jurnalisme pembangunan. Sedangkan yang tepat untuk Indonesia adalah jurnalisme bebas dan bertanggung jawab. Jurnalisme bebas dan bertanggung jawab adalah kebebasan untuk menyatakan serta  menegakkan kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya.

Akhir-akhir ini muncul beberapa pen-dapat mengenai jurnalisme yang dipraktekkan di Indonesia. Ada yang menyodorkan nama “jur-nalisme bermakna”. Ada pula yang ingin meng-introdusir “jurnalisme patriotisme”. Semasa era kepimpinan Soeharto sering didengar dan dikenal dengan istilah “jurnalisme pembangunan”.
Di masa reformasi muncul istilah “jurnalisme selera rendah”, yang mengemas berita gossip, sensasi, konflik dan seks menjadi berita “yang asal laku dijual” tanpa memperdulikan etika, kepatutan, dampak negatif dan kode etik jurnalistik. Ada pula istilah “jurnalisme plintiran”, yang memutarbalikkan fakta dan mencam-puraduk antara fakta dan opini. Ada pula praktek “jurnalisme talang-air”, yang “menuangkan” begitu saja informasi dari lapangan/sumber berita ke halaman suratkabar tanpa dipilah-pilah terlebih dahulu melalui kacamata kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Di tengah-tengah kecenderungan menon-jolnya semangat disentralisasi yang menjurus ke arah disintegrasi bangsa, sebaiknya ada bentuk jurnalisme yang “pas” untuk dipraktekkan dan diamalkan di Indonesia.
Ada satu gagasan untuk mewacanakan “jurnalisme berwawasan kebangsaan” atau dising-kat “jurnalisme berwawasan”, suatu bentuk jur-nalisme yang mengemas informasi menjadi berita/tulisan yang mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Jurnalis dan ahli sejarah Amerika Serikat Paul Johnson, berdasarkan pengalaman langsung serta pengamatannya tentang adanya praktek menyimpang dalam melaksanakan kebebasan pers, menyebutnya “tujuh dosa yang mematikan” (seven deadly sins). Adapun tujuh dosa tersebut sebagai berikut:
Pertama: Distorsi Informasi. Praktek dis-torsi informasi ini lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi informasi baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual, yang tidak sesuai dengan sumber aslinya dengan akibat makna menjadi berubah.

Kedua: Dramatisasi fakta palsu. Drama-tisasi ini dipraktekkan dengan memberikan illustrasi secara verbal, auditif atau visual yang berlebihan tentang suatu obyek. Dalam media cetak cara ini dapat dilakukan secara naratif (dalam bentuk kata-kata) atau melalui penyajian foto/gambar tertentu dengan tujuan untuk membangun suatu citra negatif dan stereotip. Dalam media audio-visual (TV) dramatisasi ini dilakukan dengan teknik pengambilan gambar dan pemberian sound-effects yang sesuai dengan tujuan penyampaian pesan.

Ketiga: Mangganggu “privacy”. Pada umumnya praktek ini dilakukan dalam peliputan kehidupan kalangan selebritis dan kaum elite, terutama yang diduga terlibat dalam suatu skan-dal. Berbagai cara dilakukan, antara lain melalui penyadapan telepon, penggunaan kamera dengan telelens, dan sering pula wawancara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi, memaksa atau menjebak. Kesem-patan wawancaranya juga diambil pada saat-saat yang tidak diinginkan oleh pihak yang diwawancarai.

Keempat: Pembunuhan karakter. Praktek ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan dengan mengeksploitasi, menggam-barkan dan menonjolkan segi/sisi “buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.

Kelima: Eksploitasi seks. Praktek eks-ploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli dunia periklanan. Praktek tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara menempatkan di halaman depan surat kabar tulisan yang ber-muatan seks.
Keenam: Meracuni benak/pikiran anak.

Praktek ini dilakukan di dunia periklanan dengan cara menempatkan figur anak-anak. Akhir-akhir ini praktek serupa semakin meningkat dengan penonjolan figur anak-anak sebagai sasaran-antara dalam memasarkan berbagai macam pro-duk.

Ketujuh: Penyalahgunaan kekuasaan (abu-se of the power). Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi di lingkungan pejabat peme-rintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol kebijakan editorial/ pemberitaan media massa.

Ketujuh “dosa jurnalistik” tersebut dapat disebut pula dan dapat dikenali sebagai praktek jurnalistik yang menyimpang, yang kerap terjadi juga di Indonesia, dan sering dilakukan media massa yang baru terbit.

Praktek Jurnalistik menyimpang?
Praktek-praktek jurnalistik yang menyim-pang dan praktek pemberitaan lain yang menyim-pang dari kaidah jurnalistik yang sangat menonjol di Indonesia adalah sebagai berikut:

1.     Eksploitasi judul
Cara ini sering dipraktekkan dengan membuat judul yang tidak sesuai dengan isi beritanya. Biasanya judul tersebut bernada agitatif, emosional dan tidak jarang “seronok”. Cara ini ditempuh untuk menarik perhatian pembaca dan sebagai senjata utama untuk meningkatkan sirkulasi.

2.     Sumber berita “konon kabarnya”.
Tidak jarang pula sumber berita “konon kabarnya” atau “menurut sumber informasi yang tidak mau disebut namanya” diprak-tekkan. Padahal salah satu implikasi dari prinsip obyektivitas adalah adanya kejelasan identitas dari berbagai sumber berita yang dirujuk.

3.     Dominasi opini elit dan kelompok mayoritas.
Pada umumnya media massa di Indonesia masih cenderung mengutamakan pemuatan opini, pendapat atau pernyataan kalangan elit dan mayoritas saja, misalnya para pakar, tokoh politik, kalangan selibritis, pejabat pemerintah, tokoh agama atau pengusaha. Aspirasi atau pendapat kalangan masyarakat bawah atau minoritas (secara etnis dan agama) kurang mendapatkan perhatian.

4.   Penyajian informasi yang tidak investigative.
Pola penyajian informasi sebagiann besar media massa di Indonesia kurang bersifat investigative. Banyak di antaranya hanya menjual issue tetapi kurang melengkapinya dengan pemberian makna dan interpretasi yang obyektif, komprehensif dan mendalam.
Dalam hal ini perlu diperhatikan kondisi sosio-demografis masyarakat Indonesia, khu-susnya dalam hal tingkat pendidikan masih banyak masyarakat kita yang belum mampu memilih dan memilah informasi secara kritis dan obyektif. Mereka mudah sekali terpengaruh oleh gossip dan rumor.

Fungsi sosial media massa
Bagaimana hubungan antara peranan pers dengan usaha memelihara keutuhan Negara Kesa-tuan Republik Indonesia ini? Dalam hal ini kita perlu merenungkan apa yang ditulis oleh ahli komunikasi massa Harold D. Lasswell mengenai fungsi sosial media massa.
Menurut Harold D. Laswell (1936) ada empat fungsi sosial media massa:
1.   Pengamatan sosial (social surveillance).
Media massa hendaknya menyebarkan infor-masi dan interpertasi yang obyektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan melakukan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
2.   Korelasi sosial (social correlation).
Media massa hendaknya memberikan informasi dan interpretasi yang meng-hubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus.
3.   Sosialisasi (socialization).
Media massa hendaknya mewariskan nilai-nilai (yang baik) dari satu generasi ke generasi lainnya atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
4.   Hiburan (entertainment).
Media massa juga mempunyai tugas untuk memberikan hiburan (yang sehat) dan kesenangan kepada masyarakat.

Dari keempat fungsi sosial media massa tadi, maka yang paling menonjol dilakukan oleh media massa di Indonesia sekarang adalah fungsi keempat (hiburan), sedangkan ke tiga fungsi sosial yang lain kurang mendapat perhatian.

Dalam hal ini kita mengambil contoh pemberitaan mengenai “konflik”, yang akhir-akhir ini sering menempati halaman depan media cetak dan menjadi berita utama media elektronik dan media cetak.

Jika ditilik dari fungsi pengamat sosial media massa, seharusnya berita tentang konflik tadi dikemas sedemikian rupa, agar masyarakat waspada dan mencegah agar konflik tidak meluas dan menghancurkan sistem masyarakat.

Sedangkan penyajian opini dari para elit politik atau kelompok yang bertikai, jika ditilik dari fungsi korelasi sosial media massa, seharusnya dikorelasikan dengan opini dari ber-bagai kalangan masyarakat lainnya baik secara vertikal maupun horisontal.

Hal ini berarti isi pemberitaan tidak hanya menyajikan pandangan atau pernyataan pihak-pihak yang bertikai. Pandangan dan pendapat dari berbagai kalangan masyarakat baik lapisan atas, menengah maupun bawah perlu juga disajikan secara eksplisit termasuk dampak konflik terhadap kehidupan nyata masyarakat.

Tujuannya isi pemberitaan adalah untuk mencapai konsensus agar konflik dapat segera berakhir, karena disadari bersama bahwa yang menjadi korban dari konflik tersebut adalah masyarakat.

Sedangkan mengenai fungsi sosialisasi dalam kasus konflik tersebut, media massa hen-aknya menyebarluaskan pesan tentang perlunya menjaga integrasi bangsa dalam menghadapi konflik tadi. Dalam hal ini yang sangat relevan adalah mensosialisasikan tentang perlunya toleransi dan apresiasi terhadap perbedaan dalam hubungannya dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar- golongan), juga tentang perlunya menegakkan supremasi hukum serta anti segala bentuk tindakan kekerasan.

Jurnalisme Sehat, Bebas dan bertanggung jawab
Jurnalisme sehat, bebas dan bertanggung jawab dihasilkan oleh medai massa yang sehat, yaitu media massa yang bebas dan bertanggung jawab”. Pemerintah dan masyarakat harus mem-unyai pandangan bahawa media massa yang sehat, bebas dan bertanggung jawab yaitu media massa yang dapat menjalankan peranannya yang ideal.

Kalangan media massa sendiri harus memberikan penyebaran tentang media massa yang sehat sebagai berikut: “Media massa yang sehat secara ideal adalah media massa yang melaksanakan fungsi-fungsi ideal yang sesuai dengan konstitusi negara, secara bebas dan bertanggung jawab. Hal ini hanya dapat dilak-anakannya dengan baik, apabila media massa itu sehat secara isi pemberitaan dan penyiaran, sehat secara ekonomis. Jika secara ekonomis, materiil media massa tidak sehat, maka terlihat kecen-erungan pada sementara media massa mempertahankan survivalnya dengan mendasar-kan orientasi perjuangannya kepada tuntutan yang bersifat kebendaan, dengan kata lain terlihat keadaan yang cenderung mengembangkan erosi idealisme perjuangan media massa yang hakikatnya harus diabdikan kepada tujuan-tujuan memasyarakatkan cita-cita nasional, yaitu masya-rakat kebangsaan maju, adil dan makmur ber-dasarkan ideologi Pancasila.
Sumber hukum Kebebasan media massa yang bertanggung jawab ini adalah  harus pada konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa “Kemerdekaan mengeluarkan pendapat melalui lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Tidak ada petunjuk atau kriteria lain yang diberikan. Tolak ukur bagi undang-undang atau peraturan-perundangan yang mengatur tentang kemerdekaan ataupun kebebasan memberikan pendapat melalui tulisan dengan kata lain kebebasan pers, sebagai pelaksanaan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dengan sendirinya adalah dasar pasal 28 Undang-undang Dasar itu sendiri, yang tercantum dalam pembukaan  Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi seperti berikut:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejah-teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijak-sanaan dalam permesyuaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Berpegang kepada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tolak ukur “kebebasan media massa”, ketentuan Undang-Undang Media Massa tentang kebebasan Media Massa ditelaah. Sedangkan rumusan kebebasan media massa adalah:
  1. Kebebasan Media massa sesuai dengan   hak asasi warga negara dijamin.
  2. Kebebasan Media massa ini berdasarkan atas tanggung jawab nasional.
Kebebasan media massa itu berasaskan pada tugas, kewajiban dan fungsi media massa. Kebebasan media massa berhubungan erat dengan keperluan adanya  pertanggung jawaban kepada :
  • Tuhan Yang Maha Esa
  • Kepentingan rakyat dan keselamatan Negara
  • Kelangsungan dan penyelesaian Perjuangan Nasional hingga terwujudnya tujuan nasional
  • Moral dan tata susila
  • Kepribadian bangsa”.
Kebebasan media massa Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta  menegakkan kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya.

Media massa yang bebas dan bertanggung jawab harus diucapkan dalam satu nafas. Walau-pun begitu, dengan semangat menyebut media massa bebas dan bertanggung jawab dalam satu nafas, perlu juga disatukan pengertian tentang kriteria tersebut.

Keadaan menunjukkan penterjemah pengertian kebebasan yang hakikatnya adalah kebebasan yang bertanggung jawab masih belum terlihat keserasian dan keseimbangannya. Sementara itu norma-norma, hak dan kewajiban media massa seperti yang terkandung di dalam ketentuan-ketentuan undang-undang yang meng-ikat serta di dalam kode etika jurnalistik wartawan Indonesia, masih pula serba mengambang dan tidak seimbang. Tegasnya persepsi pemerintah, masyarakat dan media massa sendiri terhadap norma-norma, hak dan kewajiban media massa belumlah serasi.

Jadi, Kunci untuk tidak terjerumus ke dalam “dosa jurnalistik”, dan untuk tidak melakukan praktek jurnalistik yang menyimpang dengan melaksanakan empat fungsi sosial media massa adalah melalui pendidikan dan pelatihan jur-nalistik yang terarah dan terprogram guna meningkatkan profesionalisme.

Di samping itu perlu pula dilakukan usaha sosialisasi kode etik jurnalistik guna memantapkan penghayatan serta pengamalannya. Jika kode etik jurnalistik baik Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI maupun Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dipatuhi dan dilaksanakan dengan benar oleh insan pers Indonesia, wajah kehidupan masya-rakat baik dari sisi politik, ekonomi dan sosial akan menyejukkan dan membersitkan wajah yang penuh harapan serta optimisme.

Dengan berpedoman kepada kode etik jurnalistik dan kode etik wartawan Indonesia aktivitas jurnalistik di Indonesia pada akhirnya dapat terwujud praktek-praktek jurnalisme sehat, bebas dan bertanggung jawab.

Referensi:
Anom, Erman, ”Dasar dan sistem akhbar dalam era kepimpinan Soeharto 1966-1998”, Tesis Doktor Falsafah, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, 2006.
Lasswell, Harold, D, ”Politics: who get what when and how”, McGraw Hill Book.co, London, 1936.
McQuail, D.T, ”Mass communication theory: an introduction”, Sage Publications, London, 1983.
Merrill, J.C, “A conceptual overview of  world Jurnalism”, Dlm. Hinz Dittrich & John C Merrill (pnyt), Internasional Inter Cultural. Communication, Hasting House Publisher, New York, 1971.
Merrill, J.C, “The Imperative of freedom: a philosophy of journalistic autonomy”, Hastings House Publisers, New York, 1974.
Mohd. Safar Hasim, ”Akhbar dan kuasa: perkembangan sistem akhbar di Malaysia sejak 1806”, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 1996.


More Article Di Sini